steven gerrard

inspirasi bagi yang suka untuk bermain sepakbola,,,,,, hahahahahaha,,,,

Senin, 28 Desember 2009

makalah PPD

Puber Kedua istilah "puber" berasal dari kata "pubes" yang artinya rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan. Kondisi ini dialami oleh anak berusia belasan tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Puber kedua adalah kondisi dimana terdapat kesamaan perilaku seperti yang dialami anak-anak yang memasuki masa puber, seperti lebih memperhatikan penampilan, lebih memperhatikan lawan jenis, dan sebagainya. Puber kedua dialami oleh pria maupun wanita yang memasuki usia 40 tahun ke atas. Gejala yang timbul pada pria saat memasuki puber kedua adalah :
• Enggan tampil tua. Mereka mulai memperhatikan penampilannya maupun keindahan tubuhnya. Rambutnya disemir ala anak muda, bergaya gaul, memodifikasi mobilnya menjadi ceper, dan sebagainya.
• Mereka juga mulai senang kembali berpetualang. Mulai dari dari naik motor jarak jauh, sampai keluar masuk diskotek.
• Produktivitas hidup meningkat. Banyak ditemui bahwa mereka semakin mahir bernegosiasi, semakin maju bisnisnya, maupun semakin memukau karirnya.
Sedangkan pada wanita, gejala yang muncul adalah :
• Terganggu atau berhentinya proses menstruasi (terjadi menopause). Hal ini terjadi karena gonadotrop tidak diproduksi lagi oleh kelenjar hypophysc. Efek yang terjadi adalah pusing, lesu, dan kurang bergairah. Akibatnya kestabilan emosi sering terganggu.
• Timbunan lemak menyusut sehingga kulit mulai keriput, bahkan buah dada mulai berubah bentuk. Rambutpun mulai memutih. Keadaan ini akan berpengaruh pada kejiwaannya. Apalagi jika suami memandang hal itu sebagai suatu kemunduran.
Setiap orang akan mengalami fase puber kedua ini. Karena itu perlu persiapan yang cukup matang untuk memasuki fase krisis ini. Di sinilah komitmen perkawinan kembali teruji. Komunikasi dan pengertian memegang peran yang sangat penting bagi pasangan yang mulai memasuki masa puber kedua ini. Kondisi yang berbeda antara suami dan istri sering kali memicu konflik di antara mereka berdua. Suami semakin bersemangat dalam banyak hal, sedangkan istri semakin lesu dan kurang bergairah. Bila terjadi komunikasi yang baik di antara pasangan yang memasuki masa ini, maka masalah krisis kedua ini akan dapat diselesaikan dengan baik.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melewati masa puber kedua dengan baik adalah:
• Bertamasya berdua tanpa diganggu oleh kehadiran anak
• Memberikan kejutan seperti candle light dinner, membelikan barang yang sedang diinginkan pasangan, dan sebagainya
• Membuka kembali album foto kenangan bersama-sama
• Menonton bioskop berdua saja
• Dan sebagainya
Dengan demikian diharapkan pasangan yang memasuki masa puber kedua dapat melewatinya dengan baik dan memasuki usia senja dengan bahagia. (http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm#Puber%20Kedua)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas)
Pubertas adalah masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat. Pada wanita pubertas ditandai dengan menstruasi pertama (menarche), sedangkan pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah.[1]. Kini, dikenal adanya pubertas dini pada remaja. Penyebab pubertas dini ialah bahwa bahan kimia DDT sendiri, DDE, mempunyai efek yang mirip dengan hormon estrogen. Hormon ini diketahui sangat berperan dalam mengatur perkembangan seks wanita[2].
Seorang anak akan menunjukkan tanda-tanda awal dari pubertas, seperti suara yang mulai berubah, tumbuhnya rambut-rambut pada daerah tertentu dan payudara membesar untuk seorang gadis. Untuk seorang anak perempuan, tanda-tanda itu biasanya muncul pada usia 10 tahun ke atas dan pada anak laki-laki, biasanya lebih lambat, yaitu pada usia 11 tahun ke atas[3]. Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggung-jawab atas munculnya dorongan seks. Pemuasan dorongan seks masih dipersulit dengan banyaknya tabu sosial, sekaligus juga kekurangan pengetahuan yang benar tentang seksualitas. Namun sejak tahun 1960-an, aktivitas seksual telah meningkat di antara remaja; studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50 persen remaja di bawah usia 15 dan 75 persen di bawah usia 19 melaporkan telah melakukan hubungan seks[4].
Penyebab munculnya pubertas
Penyebab munculnya pubertas ini adalah hormon yang dipengaruhi oleh hipofisis (pusat dari seluruh sistem kelenjar penghasil hormon tubuh). Berkat kerja hormon ini, remaja memasuki masa pubertas sehingga mulai muncul ciri-ciri kelamin sekunder yang dapat membedakan antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, pubertas terjadi karena tubuh mulai memproduksi hormon-hormon seks sehingga alat reproduksi telah berfungsi dan tubuh mengalami perubahan.
Hormon seks yang mempengaruhi perempuan adalah estrogen dan progesteron yang diproduksi di indung telur, sedangkan pada laki-laki diproduksi oleh testis dan dinamakan testosteron. Hormon-hormon tersebut ada di dalam darah dan mempengaruhi alat-alat dalam tubuh sehingga terjadilah beberapa pertumbuhan[1
Mimpi basah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Mimpi basah (emisi nokturnal) adalah pengeluaran cairan semen (mani) di waktu tidur dan hanya dialami oleh laki-laki. Mimpi basah sering dialami oleh remaja laki-laki, yang sekaligus menjadi tanda bahwa ia telah memasuki masa pubertas. Hal ini bisa dipicu mimpi yang erotis maupun tidak, tergantung dari yang mengalami mimpi itu sendiri (khususnya bila ia seorang pria dewasa). Pengeluaran ini dapat terjadi tanpa disertai ereksi atau ejakulasi. Semakin bertambahnya umur maka mimpi basah ini semakin jarang dialami.
Mimpi basah tergantung dari respons fisik orang yang mengalami mimpi tadi. Peristiwa ini adalah mekanisme yang alami akibat vesikula seminalis (kantong sperma) telah penuh dengan sperma yang dihasilkan oleh testis.
Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Periode ini penting dalam hal reproduksi. Pada manusia, hal ini biasanya terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai menopause. Selain manusia, periode ini hanya terjadi pada primata-primata besar, sementara binatang-binatang menyusui lainnya mengalami siklus estrus.
Pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum, tetapi tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, terkadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Biasanya, menstruasi rata-rata terjadi 5 hari, terkadang menstruasi juga dapat terjadi sekitar 2 hari sampai 7 hari. Umumnya darah yang hilang akibat menstruasi adalah 10mL hingga 80mL per hari tetapi biasanya dengan rata-rata 35mL per harinya.
Biasanya pada saat menstruasi wanita memakai pembalut untuk menampung darah yang keluar saat beraktivitas terutama saat tidur agar bokong dan celana tidak basah dan tetap nyaman. Pembalut harus diganti minimal dua kali sehari untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi pada vagina atau gangguan-gangguan lainnya. Gunakanlah pembalut yang anti-bakteri dan mempunyai siklus udara yang lancar.
Tanda dan gejala
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala yang dapat terjadi pada saat masa menstruasi:
• Perut terasa mulas, mual dan panas.
• Terasa nyeri saat buang air kecil.
• Tubuh tidak fit.
• Demam.
• Sakit kepala dan pusing.
• Keputihan.
• Radang pada vagina.
• Gatal-gatal pada kulit.
• Emosi meningkat.
• Nyeri dan bengkak pada payudara.
Makalah(http://www.google.co.id/search?hl=id&q=teori+perkembangan+sexual&start=10&sa=N)
SEKSUALITAS
Iwan Purnawan, S.Kep.,Ns
















A. Pendahuluan
Sex merupakan hal yang dianggap tabu untuk diperbincangkan. Akan tetapi secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu pengetahuan tentang sex dan pembicaraan mengenai masalah seksualitas dianggap sebagai hal yang penting dan perlu bagi perkembangan manusia. Akhirnya pada pertengahan tahun 1960-an, tenaga perawatan kesehatan telah mengenali keterkaitan kesehatan seksual dengan komponen kesejahteraan.
Pemahaman mengenai seksualitas akan membantu perawat dalam mengenali nilai dan bias seksual serta memperluas pemahaman tentang batas normal perilaku seksual sehingga mampu memberikan perawatan secara lebih efektif.

B. Konsep Seksualitas
Seksualitas merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan karena menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk perilaku yang beraneka ragam. Sedangkan kesehatan seksual telah didefinisikan oleh WHO (1975) sebagai “pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual, dengan cara yang positif, memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi, dan cinta”.
Apakah sex dan seksualitas merupakan sesuatu yang sama ?
Ternyata kebanyakan orang memahami sexualitas sebatas istilas sex, padahal antara sex dengan sexualitas merupakan hal yang berbeda. Menurut Zawid (1994), kata sex sering digunakan dalam dua hal, yaitu: (a) aktivitas sexsual genital, dan (b) sebagai label jender (jenis kelamin).
Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang bagaimana seseoarang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunuksikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata.
Lebih lanjut Menurut Raharjo yang dikutip oleh Nurhadmo (1999) menjelaskan bahwa seksualitas merupakan suatu konsep, kontruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan aperilaku yang berkaitan dengan seks.

1. Dimensi seksualitas
Banyaknya variasi seksualitas dan perilaku seksual membutuhkan perspektif yang holistik (menyeluruh). Bagaimanapun seksualitas dan kesehatan seksual memiliki banyak dimensi antara lain: dimensi sosiokultural, agama & etika, psikologis, dan biologis.
a. Dimensi Sosiokultural
Merupakan dimensi yang melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.
Dengan kata laian seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan apakah perilaku tersebut diterima atau tidak berdasarkan kultur yang ada. Sehingga keragaman kultural secara global menyebabkan variabilitas yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadirkan spektrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya: perilaku yang diperbolehkan selama pacaran, hal-hal yang dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual, atau menentukan orang yang boleh dan tidak boleh untuk dinikahi.
Contoh lain tradisi seksual kultural adalah sirkumsisi. Meskipun di AS masih merupakan masalah kontroversial, akan tetapi hampir 80% neonatus laki-laki disana disirkumsisi dengan alasan higienis atau simbol keagamaan dan identitas etnik tertentu. Demikian pula pada wanita, dalam budaya beberapa negara sirkumsisi pada wanita merupakan tanda fisik kedewasaan seorang wanita, simbol kontrol sosial terhadap kesenangan seksual dan reproduksi mereka.
Survei definitif dan komprehensif mengenai keyakinan dan praktek seksual di Amerika yang dilakukan oleh para peneliti Universitas Chicago menunjukan bahwa seorang individu dipengaruhi oleh jaringan sosial mereka dan cenderung untuk melakukan apa yang digariskan oleh lingkungan sosial mereka (Michael et al, 1994). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian kualitatif mengenai perilaku seksual anak jalanan di stasiun kereta api Lempuyangan Jogjakarta. Lingkungan sosial yang bersifat permisif membuat mereka dengan usia yang sangat muda telah akrab dengan berbagai aktivitas seksual, mulai dari meilhat sampai dengan melakukan hubungan intim. (Purnawan, 2004).
Singkatnya, setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan ekspresi seksual anggotanya. Misalnya bagi bangsa timur, khususnya Indonesia, melakukan hubungan intim (senggama) di luar nikah merupakan sebuah aib walaupun sekarang mulai memudar, akan tetapi bagi masyarakat Barat hal tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi.
b. Dimensi Agama dan Etik
Seksualitas berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik Jika keputusan seksual yang ia buat melawati batas kode etik individu maka akan menimbulkan konflik internal, seperti perasaan bersalah, berdosa dan lain-lain. Spektrum sikap mengenai seksualitas memiliki rentang mulai dari pandangan tradisional (hubungan seks hanya boleh dalam perkawinan) sampai dengan sikap yang memperbolehkan sesuai dengan keyakinan individu tentang perbuatannya.
Akan tetapi meskipun agama memegang peranaan penting, akan tetapi keputusan seksual pada akhirnya diserahkan pada individu, sehingga sering timbul pelanggaran etik atau agama. Seperti yang dikemukakan Denney & Quadagno (1992) bahwa seseorang dapat menyatakan pada publik bahwa ia meyakini sistem sosial tertentu tetapi berperilaku cukup berbeda secara pribadi. Misalnya: Seseorang meyakini kalau hubungan sex diluar nikah itu tidak diperbolehkan menurut agama atau etika, tapi karena kurang bisa mengendalikan diri, ia tetap melakukan juga.
Michael et al (1994) membagi sikap dan keyakinan individu tentang seksualitas menjadi 3 kategori:
1) Tradisional : keyakinan keagamaan selalu dijadikan pedoman bagi perilaku seksual mereka. Dengan demikian homoseksual, aborsi, dan hubungan seks pranikah dan diluar nikah selalu dianggap sebagai sesuatu yang salah.
2) Relasional :  berkeyakinan bahwa sex harus menjadi bagian dari hubungan saling mencintai, tetapi tidak harus dalam ikatan pernikahan.
3) Rekreasional :  menyatakan bahwa kebutuhan seks tidak ada kaitannya dengan cinta.
c. Dimensi biologis
Merupakan dimensi yang berkaitan dengan anatomi dan fungsional organ reproduksi termasuk didalamnya bagaimana menjag kesehatan dan memfungsikan secara optimal.
d. Dimensi psikologis
Seksualitas mengandung perilaku yang dipelajari sejak dini dalam kehidupannya melalui pengamatan terhadap perilaku orang tuanya. Untuk itulah orang tua memiliki pengaruh secara signifikan terhadap seksualitas anak-anaknya. Seringkali bagimana seseorang memandang diri mereka sebagai mahluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orang tua tunjukan tentang tubuh dan tindakan mereka.
Menurut Deney & Quadagno hasil penelitian menunjukan kecenderungan orang tua memperlakukan anak perempuan dan laki-laki secara berbeda, mendekorasi kamar secara berbeda, dan demikian pula respon terhadap tindakan mereka.
Orang tua juga akan memberikan penghargaan terhadap anak lak-laki yang melakukan eksplorasi dan mandiri, sedangjan anak perempuan sering didorong untuk menjadi penolong dan meminta bantuan. Lebih lanjut orang tua cenderung mempertegas permaian sesuai dengan jenis kelamin pada anak-anak prasekolah mereka. Kesimpulannya orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan jender.
2. Identitas seksual
a. Identitas biologis
Perbedaan biologis antara pria dan wanita ditentukan pada masa konsepsi. Janin perempuan menerima kromosom X (satu dari setiap orang tuanya), sedangkan janin laki laki menerima satu kromosom X dari ibunya dan satu kromosom Y dari ayahnya.
Walaupun awalnya genitalia janin belum bisa dibedakan, tetapi pada saat hormon seks mulai mempengaruhi janin, genitalia membentuk karakteristik pria atau wanita. Pada saat pubertas wanita mengalami putaran siklus menstruasi dan karakteristik seks skunder. Sedangkan pada anak laki-laki mengalami pembentukan sperma dan karakteristik seks skunder pria.
b. Identitas Jender
Jender adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Faqih, 1996). Sedangkan Identitas Jender merupakan rasa menjadi feminin atau maskulin.
Dimana segera setelah bayi lahir orang tua dan komunitasnya akan memberikan label sebagai perempuan atau laki-laki. Kemudian orang dewasa akan memperlakukan secara berbeda antara bayi laki-laki dengan perempuan. Pola interaksi yang berbeda inilah yang kemudian mempengaruhi bayi mengembangkan rasa identitas jendernya.
Pada usia tiga tahun, anak-anak sudah menyadari bahwa mereka akan menjadi anak perempuan atau anak-laki-laki. Pengenalan ini merupakan bagian dari perkembangan konsep diri.
c. Peran Jender
Peran jender merupakan cara dimana seseorang bertindak sebagai wanita atau pria. Ternyata faktor lingkungan (orang tua, teman sebaya, media massa dll) bukan satu-stunnya faktor yang membentuk perbedaan perilaku seksual individu, beberapa peneliti berkeyakinan hormon seks yang mempengaruhi perkembangan otak janin, ikut membentuk terbentuknya peran jender tersebut. Sehngga perilaku seksual merupakan hasil kombinasi fakor lingkungan dan biologis.
Selanjutnya faktor kultural juga merupakan elemen penting dalam menentukan peran seks atau jender. Ada kultur yang secara ketat menggambarkan peranaan sebagai feminin atau maskulin (misal: pencari nafkah dan koordinator finansial rumah tangga sebagai peran maskulin; sedangkan pemberi perawatan anak dan memasak adalah peran feminin). Kelompok kultur lain mungkin lebih fleksibel dalam mendefinisikan peran jender mendorong wanita maupun pria untuk menggali berbagai peran atau perilaku tanpa memberikan label tertentu yang berkaitan dengan seks.

3. Orientasi Seksual
Orientasi seksual merupakan preferensi yang jelas, persisten, dan erotik seseorang untuk jenis kelaminnya atau orang lain. Dengan kata lain orientasi seksual adalah keteratarikan emosional, romatik, seksual, atau rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain
Orientasi seksual memiliki rentang dari Homoseksual murni sampai dengan Heteroseksual murni termasuk didalamnya Biseksual. Sebagian besar orang termasuk heteroseksual yang memiliki ketertarikan hanya dengan lawan jenis. Sedangkan sebagian kecil termasuk homoseksual atau biseksual.
Homoseksual merupakan orang yang mengalami ketertarikan emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang pada sejenis, sedangkan biseksual merasa nyaman melakukan hubungan seksual dengan kedua jenis kelamin. Kaum homoseksual disebut gay (bila laki-laki) atau lesbian (perempuan).
Rentang ini memberikan model konseptual tentang orientasi seksual dalam masyarakat dan komplesitas perilaku manusia. Sehingga ada kemungkinan individu mempunyai perasaan erotik yang ditujukan pada seseorang dengan jenis kelamin yang sama tanpa melakukan aksi terhadap perasaan itu.

Gaya hidup gay atau lesbian sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka memutuskan untuk merahasiakan atau terbuka tentang orientasi seksualnya. Hal ini berkaitan dengan proses penghargaan diri, penerimaan diri, dan keterbukaan diri. Melihat kenyataan diatas maka bukan sesuatu yang benar jika kemudian pria gay selalu berkelakuan agak feminin atau memiliki keinginan menjadi seorang wanita, atau sebaliknya wanita lesbian tidak mesti maskulin atau memiliki keinginan untuk jadi pria. Sebagian besar dari mereka merasa puas dengan jender dan peran sosial mereka, dan hanya memiliki keinginan untuk bersama dengan anggota jenis kelamin mereka sendiri

Variasi dalam expresi seksual
Transeksual adalah orang yang identitas seksual atau jender nya berlawanan dengan sex biologisnya. Seorang pria mungkin berfikir tentang dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh pria, atau seorang wanita mungkin menggambarkan dirinya sebagai pria yang terperangkap dalam tubuh wanita. Perasaan ’terperangkap’ ini disebut juga dengan ’disforia jender’.
Transvetit biasanya adalah pria heteroseksual secara periodik berpakaian seperti wanita untuk pemuasan pikologis dan seksual. Sikap ini bersifat sangat pribadi bahkan bagi orang yang terdekat sekalipun.

C. Sistem Nilai Seksual
Sistem nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan yang berkaitan dengan seksualitas. Sistem seksual ini dibentuk sepanjang perjalanan hidupnya. Pengalaman ini dapat membuat klien mudah untuk berhadapan dengan masalah seksual dalam lingkungan perawatan atau dapat pula menghambat klien dalam mengekspresikannya.
Dengan demikian perhatian utama perawat terhadap klien adalah apakah perilaku, sikap, perasaan, sikap seksual spesifik itu normal.
Klien yang dirawat juga harus diberi privasi ketika dikunjungi oleh pasangan seksualnya. Privasi ini memungkinkan waktu pembicaraan intim, menyentuh, atau berciuman.
Ketika orientasi atau nilai seksual perawat berbeda dengan klien maka sesuatu yang aneh atau salah menurut perawat mungkin tampak normal dan dapat diterima oleh klien, maka disinilah timbul bias seksual.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi bias seksual agar tidak mengganggu proses perawatan antara lain:
a) promosi tentang eduaksi seks dan pemeriksaan nilai dan keyakinan seksual dengan jujur.
b) Pemberian informasi mengenai efek penyakit pada seksualitas secara jujur dan akurat.
D. Perilaku Seksual
Menurut Wahyudi (2000) perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku.
Perilaku seksual yang sehat dan dianggap normal adalah cara heteroseksual, vaginal, dan dilakukan suka sama suka. Sedangkan yang tidak normal (menyimpang) antara lain Sodomi, homoseksual.
Selama ini perilaku seksual sering disederhanakan sebagai hubungan seksual berupa penetrasi dan ejakulasi. Padahal menurut Wahyudi (2000), perilaku seksual secara rinci dapat berupa:
• Berfantasi : merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.
• Pegangan Tangan : Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain.
• Cium Kering : Berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.
• Cium Basah : Berupa sentuhan bibir ke bibir
• Meraba : Merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif rangsang seksual, seperti leher, breast, paha, alat kelamin dan lain-lain.
• Berpelukan : Aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai daerah aerogen/sensitif)
• Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) : perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.
• Oral Seks : merupakan aktivitas seksual dengan cara memaukan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
• Petting : merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin).
• Intercourse (senggama) : merupakan aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

E. Perkembangan Seksual
Crain (2002) menyatakan bahwa Freud dalam teori psychosexualnya membagi perkembangan seksual seseorang dalam beberapa tahap, yaitu:
a. Oral stage (0-1 tahun)
Rangsangan seksual pada masa ini terletak pada mulutnya. Kegiatan menghisap puting payudara ibunya atau menghisap jempolnya merupakan kesenangan bagi seorang bayi.
b. Anal stage (1-3 tahun)
Pusat rangsangan pada masa ini terletak pada anusnya. Dimana anak merasakan kesenangan ketika melakukan buang air besar karena telah mampu mengontrol otot sphincter-nya. Mereka kadang-kadang mencoba memasukan kembali atau menahan fesesnya dengan cara menambah tekanan pada rektum. Mereka juga sering tertarik dengan feses yang telah dikeluarkan dengan menjadikannya sebagai alat mainan.
c. Phallic or Oediphal stage (3-6 tahun)
• Anak laki-laki
Dimulai dengan adanya ketertarikan terhadap penisnya. Hal ini disebabkan penis merupakan organ yang mudah dirangsang, mudah berubah, dan kaya akan rangsangan. Mereka ingin membandingkan penisnya dengan laki-laki lain atau dengan binatang, sehingga ia senang memperlihatkan penisnya.
Dia mungkin juga mencium ibunya secara agresiv, ingin tidur malam bersama ibunya atau membayangkan ia menikahinya. Akan tetapi ia belum membayangkan untuk melakukan senggama sehingga merasa bingung apa yang akan dilakukan bersama ibunya.
• Anak perempuan
Pada fase ini ia merasa kecewa dan marah besar dengan ibunya karena tidak memmpunyuai penis. Ia menganggap ibunya melahirkan kedunia dengan keadaan kurang lengkap Ia juga memiliki kedekatan yang lebih terhadap ayahnya. Hal ini mungkin disebabkan ayahnya mulai mengagumi kecantikannya, memanggilnya ‘little princess’ serta senang bermain-main dengannya.
d. Latency stage (6-11 tahun)
Pada fase ini, sebagian besar fantasi seksual tersembunyi di alam bawah sadar mereka.
e. Puberty (Genital Stage)
Pada anak laki-laki dimulai umur 13 tahun sedangkan anak perempuan dimulai pada usia 11 tahun. Pada saat ini anak ingin melepaskan dirinya dari orang tua.
Bagi anak laki-laki masa ini adalah saat melepaskan pertalian dengan ibunya untuk mendapatkan wanita lain sebagai penggantinya. Dia juga harus mengakhiri rivalitas dengan ayahnya dan membebaskan diri dari dominasi ayahnya.
Bagi anak perempuan mempunyai tugas yang sama, ia harus berpisah dari orang tuanya dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
f. Adolescence
Pada saat ini seseorang mulai merasakan cinta dan kasih saying satu sama lain. Adolescence mempunyai perhatian yang lebih mengenai siapa mereka, bagaimana mereka di mata orang lain, dan akan menjadi apakah mereka. Mereka mulai merasakan ketertarikan secara seksual antara satu dengan yang lain, sampai dengan jatuh cinta.
Sedangkan dalam buku Fundamental of Nursing (Potter & Perry. 2005), dijelaskan perkembangan seksual meliputi:
1. Masa Bayi (0-1 Tahun)
 Bayi perempuan dan laki-laki memiliki kapasitas untuk kesenangan dan respon seksual, dimana bayi laki-laki berespon terhadap stimulasi dengan ereksi sedangkan perempuan dengan lubrikasi vagina.
 Bayi laki-laki mengalami ereksi nokturnal spontan tanpa stimulasi
 Perilaku dan respon itu TIDAK berhubungan dengan kontak PSIKOLOGI EROTIK seperti pada masa pubertas.
 Orang tua seharusnya memahami dan menerima perilaku eksplorasi bayi sebagai langkah perkembangan identitas diri yang positif dengan cara:
” Memberikan stimulasi taktil lainnya melalui menyusui, memeluk, dan menyentuh atau membuainya.”
2. Masa Usia Bermain dan Prasekolah (1- 5/6 Tahun)
 Pada masa ini anak mulai menguatkan rasa identitas jender dan membedakan perilaku sesua dengan jender yang didefinisikan secara sosial.
 Proses pembelajaran terjadi melalui:
o Interaksi anak dengan orang dewasa
o Boneka yang diberikan
o Pakaian yang dikenakan
o Permainan yang dilakukan
o Respon yang dihargai
 Anak mulai meniru tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, mempertahankan dan memodifikasi perilaku yang didasarkan umpan balik orang tua.
 Ekspolorasi seksual meliputi
o Mengelus diri sendiri
o Manipulasi genital
o Memeluk boneka,hewan peliharaan, atau orang sekitarnya
o Percobaan sensual lainnya.
 Anak sudah bisa diajarkan perbedaan perilaku yang bersifat pribadi atau publik.
 Pertanyaan darimana bayi berasal yang diamati harus dijelaskan dengan terbuka, jujur dan sederhana.
3. Masa Usia Sekolah ( 6 – 10 tahun)
 Pada masa ini edukasi dan penekanan tentang seksualitas bisa datang dari orang tua atau gurunya disekolah, tapi yang paling signifikan berasal dari teman sebayanya.
 Anak juga akan terus mengajukan pertanyaan tentang seks dan menunjukan kemandirian mereka dengan menguji perilaku yang sesuai, misalnya menggunakan kata-kata kotor atau menceritakan guyonan yang berkonotasi seksual sambil mengamati reaksi orang dewasa
 Anak-anak mulai mempunyai keinginan dan kebutuhan privasi.
 Pada usia 10 tahun, banyak anak gadis dan sebagian sudah mulai mengalami perubahan pubertas, terjadi perubahan pada tubuh mereka. Dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat dari rumah maupun sekolah mengenai perubahan tubuh yang dialami. Karena jika tidak mungkin anak akan ketakutan dengan menstruasi atau emisi nokturnal yang dianggapnya sebagai suau penyakit yang menakutkan.
 Pada usia sekolah dini, anak harus diberikan informasi untuk berhati-hati terhadap potensi adanya penganiayaan seksual. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah pelecehan seksual terhadap anaka antara lain:
• Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan sentuhan yang buruk dari orang dewasa.
• Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.
• Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang meraka percaya.
• Ajarkan bahwa orang dewasa tidak selalu ’benar’, dan semua orang mempunyai kontrol terhadap tubuh mereka, sehingga ia dapat memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh untuk memeluknya.
 Jika terjadi pelecehan seksual pada anak, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
 Ciptakan kondisi sehingga anak merasa leluasa dalam menceritakan tentang bagian tubuhnya dan menggambarkan kejadian dengan akurat.
 Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang melakukannya adalah salah, sedangkan anaknya sendiri adalah benar.
 Orang tua harus bisa mengkontrol ekspresi emosional didepan anak.
4. Pubertas dan Masa Remaja
a. Perubahan fsik
1) Perempuan
• Ditandai dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai akhir usia 10 tahun.
• Meningkatnya kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar; vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat rangsangan.
• Menarke sangat bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun. Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan avulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama.
2) Laki-laki
• Meningkatnya kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah
• Walaupun mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan mengalami ejakulasi, sebelum organ seksnya matur yaitu sekitar usia 12 – 14 tahun.
• Ejakulasi terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi nokturnal), dan sering diinterpretasikan sebagai mimpi basah dan bagi sebagian anak hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat memalukan.
• Oleh karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan tetapi mereka akan segera menjadi subur.
b. Perubahan psikologis/emosi
• Periode ini ditandai oleh mulainya tanggungjawab dan asimilasi pengharapan masyarakat
• Remaja dihadapkan pada pengambilam sebuah keputusan seksual, dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual.
• Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang diadapatkan tidak diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin maupun kehmilan tidak akan terjadi padanya  sehingga ia cenderung melakukan aktivitas seks tanpa kehati-hatian.
• Masa ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi orientasi seksual, banyak dari mereka yang mengalami setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja mungkin takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas total mereka, walaupun sebenarnya anggapan ini tidak benar karena banyak individu terus berorientasi heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.
• Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual yang jelas akan merasa dan kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihet spiritual, keluarga, maupun profesional kesehatan mental).

Hubungan dengan perawatan kesehatan:
Pada masa ini remaja mungkin pertama kali mencari perawatan kesehatan tanpa didampingi orangtua. Agar intervensi pada kelompok usia ini bisa efektif harus diperhatikan beberapa hal antara lain:
- Ciptakan lingkungan yang menunjukan kasih sayang, saling percaya, serta kesediaan untuk mendengar
- Klarifikasi dan hormati masalah yang bersifat rahasia
- Perawat kesehatan reproduktif hendaknya memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai perkembangan remaja.
5. Masa Dewasa
• Pada masa ini telah mencapai maturasi akan tetapi terus mengeksplorasi untuk menemukan maturasi emosional dalam hubungan.
• Sambil mengembangkan hubungan yang intim, semua orang dewasa yang secara seksual aktif harus belajar teknik stimulasi dan respon seksual yang memuaskan bagi pasangannya. Mengapa ? karena pengenalan secara mutual tentang keinginan dan preferensi serta negosiasi praktek seksual mencetuskan ekspresi seksual yang positif.
• Teknik stimulasi hendaknya memperhatikan agama, nilai dan sikap keluarga tentang seksualitas karena kalau tidak menimbulkan efek emosional residual seperti rasa bersalah, cemas, atau perasaan berdosa.
• Pada akhir masa dewasa diperlukan pembaruan kembali keintiman diantara pasangan., namun demikian jika salah satu atau keduanya mengalami ancaman gambaran diri karena tubuh yang menua, dan mungkin mencoba menemukan ’kemudaan’nya dengan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang jauh lebih muda.
• Untuk mecegah hal tersebut, jika diinginkan pasangan dapat dibantu untuk menemukan hal atau kegairahan baru dalam hubungan mereka, baik dengan posisi, teknik seksual, maupun fantasi.
6. Masa Lanjut Usia
• Seksualitas pada masa ini beralih dari penekanan prokreasi menjadi lebih kerah pertemanan , kedekatan fisik, komunikasi intim, dan hubungan fisik mencari kesenangan. Walaupun demikian mereka juga bisa tetap aktif.melakukan aktivitas seks jika memang menginginkan.
• Perubahan fisik yang dialami menyebabkan perubahan perilaku seksual, sehingga perlu dijelaskan perubahan yang terjadi bersama dengan proses penuaan.
• Demikian pula lansi dengan kekuatiran masalah kesehatan yang mengganggu aktivitas seksual, dianjurkan untuk menyesuaikan tindakan seksual dengan kondisinya tersebut.
F. Respon Seksual
Menurut Masters dan Johnson (1966) siklus respon seksual terdiri dari fase excitement, plateu, orgasmus, dan, resolusi. Pada dasarnya fase-fase tersebut diakibatkan oleh vasokonstriksi dan miotania, yang merupakan respons fisiologis dasar dari rangsangan seksual.
Perbandingan siklus respon pada wanita dan pria dapat dilihat pada tabel berikut ini
WANITA PRIA
I. EXICETEMENT : peningkatan bertahap dalam rangsangan seksual
• Lubrikasi vaginal: dinding vaginal berkeringat
• Ekspansi 2/3 bagian dalam lorong vagina.
• Peningkatan sensitivitas dan pembesaran klitoris serta labia
• Ereksi puting dan peningkatan ukuran payudara • Ereksi penis
• Penebalan dan elevasi skrotum
• Elevasi dan perbesaran moderat testis
• Ereksi puting dan tumescence (pembengkakan)
II. PLATEU : penguatan respons fase Exitement
• Retraksi klitoris di bawah topi klitoral
• Pembentukan platform orgasmus: pembengkakan 1/3 luar vagina dan labisa minora
• Elevasi serviks dan uterus: efek ‘tenting’
• Perubahan warna kulit yang tampak hidup pada labia minora: “Kulit Seks”
• Pembesaran areola dan payudara
• Peningkatan tegangan otot dan pernafasan
• Peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan • Peningkatan ukuran glans (ujung) penis
• Peningkatan intensitas warna glans
• Elevasi dan peningkatan 50% ukuran testis.
• Emisi mukoid kelenjar cowper, kemungkinan oleh sperma
• Peningkatan tegangan otot dan pernafasan
• Peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
III. ORGASME: penyaluran kumpulan darah dan tegangan otot
• Kontraksi involunter platform orgasmik, uterus, rektal dan spingter uretral, dan kelompok otot lain
• Hiperventilasi dan peningkatan frekuensi jantung
• Memuncaknya frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
• Penutupan sfingter urinarius internal
• Sensasi ejakulasi yang tidak tertahankan
• Kontraksi duktus deferens vesikel seminalis prostat dan duktud ejakulatorius
• Relaksasi sfingter kandung kemih eksternal
• Memuncaknya frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
• Ejakulasi
IV. RESOLUSI: fisiologis dan psikologis kembali kedalam keadaan tidak terangsang.
• Relaksasi bertahap dinding vagina
• Perubahan warna yang cepat pada labia minora
• Berkeringat
• Secara bertahap frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan kembali normal
• Wanita mampu kembali mengalami orgasme karena tidak mengalami periode refraktori seperti yang terjadi pada pria. • Kehilangan ereksi penis
• Periode refraktori ketika dilanjutkan stimulasi menjadi tidak enak
• Reaksi berkeringat
• Penurunan testis
• Secara bertahap frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan kembali normal

G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku Seksual
Faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas antara lain:
1. Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik, karena bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Kondisi fisik dapat berupa penyakit ringan/berat, keletihan, medikasi maupun citra tubuh. Citra tubuh yang buruk, terutama disertai penolakan atau pembedahan yang mengubah bentuk tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.
2. Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat mempengaruhi hubungan seseorang untuk melakukan aktivitas seksual.
Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan mereka dalam berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang dapat diterima dan menyenangkan
3. Faktor Gaya Hidup
Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas seks, ketersediaan waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan, dan penentuan waktu yang tepat untuk aktivitas seks.
Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau gairah palsu dalam tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih besar dibanding perasaan eforia palsu tersebut.
Sebagian klien mungkin tidak mengetahui bagaiman mengatur waktu antara bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan yang sudah merasa lelah bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan beban baginya.
4. Faktor Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan perasaan yang kuat tentang seksual-diri dan dengan mempelajari ketrampilan seksual, aktivitas seksual mungkin menyebabkan perasaan negatif atau tekanan perasaan seksual.
Harga diri seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain: perkosaan, inses, penganiayaan fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau kultural yang tidak realistik.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual, menurut Purnawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:
a. Faktor Internal
1) Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis)
Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak 13 tahun.
2) Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya
3) Motivasi
Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Hersey & Blanchard cit Rusmiati (2001) perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang (pada gigolo/WTS)
b. Faktor Eksternal
1) Keluarga
Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang
2) Pergaulan
Menurut Hurlock perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja dimana pengaruh teman sebaya lebih besar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lain.
3) Media massa
Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et al (1975), menunjukan bahwa frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adegan-adegan merangsang berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti konflik dengan orang tua, berkelahi , dan perilaku lain sebagi manifestasi dari dorongan seksual yang dirasakannya.

Referensi
1. Crain, W. 1992Theorist of Development Concept and Applications. 3th ed. New York: Engle Wood Cliffs
2. Potter & Perry. 2005 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktek. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Ed. 4. Jakrta: EGC
3. Purnawan, I. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM.
4. Minangsari,2005, Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!, down load from: kompas online, 9 Februari 2007.
5. Wahyudi,K.2000.Kesehatan Reproduksi Remaja. Lab Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM Jogjakarta.
(http://www.cla.purdue.edu/english/theory/psychoanalysis/freud.html)
SIGMUND FREUD began his researches into the workings of the human mind in 1881, after a century during which Europe and America saw the reform of the insane asylum and an ever-increasing interest in "abnormal" psychological states, especially the issue of "nervous diseases" (which was the first phenomenon that Freud studied, examining the nervous system of fish while gaining his medical degree at the University of Vienna from 1873 to 1881). Freud turned to the issue of psychology after reading in 1884 about Breuer's treatment of hysteria by hypnosis and after studying under Charcot at the Sorbonne in 1885. Freud faced opposition and even ridicule for many of his ideas until a group of young doctors began to follow him to Vienna in 1902, leading to the creation of the Viennese Psycho-Analytic Society and, then later in 1910, the formation of the International Psycho-Analytic Association.
Although he often distinguished his ideas from medicine and biology, Freud was especially interested in establishing a scientific basis for his theories and, so, he often turned to biological models in order to underline the empirical basis for what were, by necessity, subjective interpretations of apparently illogical and certainly multivalent symbols (for example, in his analysis of dreams). In A Introductory Lectures on Psycho-Analysis (First Lecture), Freud confesses of the difficulties faced by a psychoanalytical critic at the turn of the twentieth century: no empirical evidence; a reliance on the spoken word, because of the talking cure; the extremely personal (because barbaric) nature of sexual drives, which therefore resist exposure (hence the notion of the unconscious); and civilization's "natural" antipathy to the revelation of the instinctive pleasures that we continually sacrifice for the common good (15.15-24).
Despite these caveats, Freud was, indeed, drawn by scientific models for his theories. Although Freud's main concern was with "sexual desire," he understood desire in terms of formative drives, instincts, and appetites that "naturally" determined one's behaviors and beliefs, even as we continually repress those behaviors and beliefs. (As a young student in Vienna, Freud was, in fact, especially fascinated by Charles Darwin's theories of evolution.) Following a biological logic, if you will, Freud therefore established a rigid model for the "normal" sexual development of the human subject, what he terms the "libido development." Here, then, is your story, as told by Freud, with the ages provided as very rough approximations since Freud often changed his mind about the actual dates of the various stages and also acknowledged that development varied between individuals. Stages can even overlap or be experienced simultaneously.
0-2 years of age. Early in your development, all of your desires were oriented towards your lips and your mouth, which accepted food, milk, and anything else you could get your hands on (the oral phase). The first object of this stage was, of course, the mother's breast, which could be transferred to auto-erotic objects (thumb-sucking). The mother thus logically became your first "love-object," already a displacement from the earlier object of desire (the breast). When you first recognized the fact of your father, you dealt with him by identifying yourself with him; however, as the sexual wishes directed to your mother grew in intensity, you became possessive of your mother and secretly wished your father out of the picture (the Oedipus complex). This Oedipus complex plays out throughout the next two phases of development.
2-4 years of age. Following the oral phase, you entered the sadistic-anal phase, which is split between active and passive impulses: the impulse to mastery on the one hand, which can easily become cruelty; the impulse to scopophilia (love of gazing), on the other hand. This phase was roughly coterminous with a new auto-erotic object: the rectal orifice (hence, the term "sadistic-anal phase"). According to Freud, the child's pleasure in defecation is connected to his or her pleasure in creating something of his or her own, a pleasure that for women is later transferred to child-bearing.
4-7 years of age. Finally, you entered the phallic phase, when the penis (or the clitoris, which, according to Freud, stands for the penis in the young girl) become your primary object-cathexis. In this stage, the child becomes fascinated with urination, which is experienced as pleasurable, both in its expulsion and retention. The trauma connected with this phase is that of castration, which makes this phase especially important for the resolution of the Oedipus complex. Over this time, you began to deal with your separation anxieties (and your all-encompassing egoism) by finding symbolic ways of representing and thus controlling the separation from (not to mention your desire for) your mother. You also learned to defer bodily gratification when necessary. In other words, your ego became trained to follow the reality-principle and to control the pleasure-principle, although this ability would not be fully attained until you passed through the latency period. In resolving the Oedipus complex, you also began to identify either with your mother or your father, thus determining the future path of your sexual orientation. That identification took the form of an "ego-ideal," which then aided the formation of your "super-ego": an internalization of the parental function (which Freud usually associated with the father) that eventually manifested itself in your conscience (and sense of guilt).
7-12 years of age. Next followed a long "latency period" during which your sexual development was more or less suspended and you concentrated on repressing and sublimating your earlier desires and thus learned to follow the reality-principle. During this phase, you gradually freed yourself from your parents (moving away from the mother and reconciling yourself with your father) or by asserting your independence (if you responded to your incestuous desires by becoming overly subservient to your father). You also moved beyond your childhood egoism and sacrificed something of your own ego to others, thus learning how to love others.
13 years of age onward (or from puberty on). Your development over the latency period allowed you to enter the final genital phase. At this point, you learned to desire members of the opposite sex and to fulfill your instinct to procreate and thus ensure the survival of the human species.
To explain the early psycho-drama of your childhood, Freud turned to a dramatic work, Sophocles' Oedipus Rex, in which Oedipus (who, according to a prophecy, is fated to sleep with his mother and kill his father) attempts to escape his fate but, in the process, unwittingly does the very things he was attempting to avoid. Freud therefore coined the term, the Oedipus complex. One should note that anyone can get arrested at or insufficiently grow out of any of the primal stages, leading to various symptoms in one's adult life. (See fixation and regression.)
One thing "you" have surely noticed is the decidedly masculine bent of Freud's story of sexual development. Indeed, Freud often had difficulty incorporating female desire into his theories, leading to his famous, unanswered question: "what does a woman want?" As Freud states late in life, "psychology too is unable to solve the riddle of femininity" ("New Introductory Lectures" 22.116). It is for this reason that many feminists have criticized Freud's ideas and one reason why many feminists interested in psychoanalysis have turned instead to Kristeva. (See also Gender and Sex.) To explain women, Freud argued that young girls followed more or less the same psychosexual development as boys. Indeed, he argues paradoxically that "the little girl is a little man" ("New Introductory Lectures" 22.118) and that the entrance into the phallic phase occurs for the young girl through her "penis-equivalent," the clitoris. In fact, according to Freud, the young girl, also experiences the castration-complex, with the difference that her tendency is to be a victim of what Freud terms "penis-envy," a desire for a penis as large as a man's. After this stage, according to Freud, the woman has an extra stage of development when "the clitoris should wholly or in part hand over its sensitivity, and at the same time its importance, to the vagina" ("New Introductory Lectures" 22.118). According to Freud, the young girl must also at some point give up her first object-choice (the mother and her breast) in order to take the father as her new proper object-choice. Her eventual move into heterosexual femininity, which culminates in giving birth, grows out of her earlier infantile desires, with her own child now taking "the place of the penis in accordance with an ancient symbolic equivalence" ("New Introductory Lectures" 22.128).
(((Sigmund Freud memulai penelitian ke dalam cara kerja pikiran manusia pada tahun 1881, setelah satu abad di mana Eropa dan Amerika melihat reformasi rumah sakit jiwa dan yang semakin tertarik pada "normal" keadaan psikologis, terutama masalah "penyakit saraf "(yang merupakan fenomena pertama bahwa Freud mempelajari, memeriksa sistem saraf ikan sementara memperoleh gelar kedokterannya di Universitas Wina 1873-1881). Freud beralih ke masalah psikologi pada tahun 1884 setelah membaca tentang perlakuan Breuer histeria oleh hipnosis dan setelah belajar di bawah Charcot di Sorbonne pada 1885. Freud menghadapi oposisi dan bahkan ejekan bagi banyak ide-idenya hingga sekelompok dokter muda mulai mengikutinya ke Wina pada tahun 1902, yang membawa pada penciptaan Psycho-Analytic Wina Society dan, kemudian pada tahun 1910, pembentukan Psycho Internasional -Analytic Association.

Meskipun ia sering membedakan ide-idenya dari kedokteran dan biologi, Freud terutama tertarik dalam membangun dasar ilmiah dan teori-teorinya, jadi, ia sering menoleh ke model biologis untuk menggarisbawahi dasar empiris untuk apa itu, oleh keharusan, interpretasi subjektif rupanya tidak logis dan tentu saja multivalent simbol (misalnya, dalam analisis mimpi). Dalam A Introductory Lectures on Psycho-Analisis (Pertama Kuliah), Freud mengaku dari kesulitan yang dihadapi oleh kritikus psikoanalisis pada pergantian abad keduapuluh: tidak ada bukti empiris, suatu kepercayaan pada kata yang diucapkan, karena talking cure; yang sangat pribadi (karena barbar) sifat dorongan seksual, yang karenanya menolak eksposur (maka pengertian bawah sadar), dan peradaban "alami" antipati terhadap penyataan naluri kesenangan yang kita terus-menerus berkorban untuk kepentingan umum (15,15-24).

Walaupun peringatan ini, Freud, memang, ditarik oleh model-model ilmiah untuk teori-teorinya. Meskipun Freud perhatian utama adalah dengan "hasrat seksual," ia memahami keinginan dalam hal formatif drive, naluri, dan selera yang "alami" seseorang ditentukan perilaku dan keyakinan, bahkan ketika kami terus menekan perilaku dan keyakinan mereka. (Sebagai seorang mahasiswa muda di Vienna, Freud adalah, pada kenyataannya, terutama terpesona oleh Charles Darwin teori evolusi.) Mengikuti logika biologis, jika Anda mau, karena itu Freud mendirikan sebuah model kaku "normal" perkembangan seksual subjek manusia , apa yang ia sebut dengan "pembangunan libido." Di sini, kemudian, adalah cerita Anda, seperti yang diceritakan oleh Freud, dengan usia diberikan sebagai perkiraan yang sangat kasar karena Freud sering berubah pikiran tentang tanggal aktual dari berbagai tahap dan juga mengakui bahwa pembangunan bervariasi antara individu. Tahapan bahkan dapat tumpang tindih atau dialami secara bersamaan.

Usia 0-2 tahun. Awal dalam perkembangan Anda, semua keinginan Anda yang berorientasi ke bibirmu dan mulut Anda, yang menerima makanan, susu, dan apa pun Anda bisa mendapatkan tangan Anda pada (fase oral). Objek pertama tahap ini, tentu saja, payudara ibu, yang dapat ditransfer ke auto-erotis objek (mengisap ibu jari). Ibu demikian secara logis menjadi pertama Anda "cinta-objek," sudah menjadi perpindahan dari objek yang sebelumnya keinginan (payudara). Ketika anda pertama kali mengenali fakta ayahmu, kau berurusan dengan dia dengan mengidentifikasi diri dengannya, tetapi sebagai keinginan seksual diarahkan ke ibumu tumbuh dalam intensitas, Anda menjadi posesif ibumu dan diam-diam berharap ayahmu dari gambar ( si Oedipus kompleks). Kompleks Oedipus ini memainkan keluar sepanjang dua tahap pembangunan.

2-4 tahun. Setelah fase oral, Anda memasuki fase sadis-anal, yang dibagi antara aktif dan pasif impuls: dorongan untuk penguasaan di satu pihak, yang dapat dengan mudah menjadi kekejaman; dorongan untuk scopophilia (cinta memandang), di sisi lain tangan. Kira-kira fase ini berbatasan dengan auto-erotis baru objek: lubang dubur (karenanya, istilah "sadis-anal fase"). Menurut Freud, kesenangan anak dalam buang air besar terhubung ke kesenangan nya dalam menciptakan sesuatu dari-nya sendiri, senang bahwa bagi perempuan adalah kemudian dipindahkan ke melahirkan anak.

4-7 tahun. Akhirnya, Anda memasuki fase tahap phalik, ketika penis (atau klitoris, yang, menurut Freud, berarti penis dalam gadis muda) menjadi objek utama Anda cathexis. Pada tahap ini, anak menjadi terpesona dengan buang air kecil, yang dialami sebagai menyenangkan, baik dalam pengusiran dan retensi. Trauma berhubungan dengan fase ini adalah bahwa dari pengebirian, yang membuat fase ini terutama penting bagi resolusi Kompleks Oedipus. Selama waktu ini, Anda mulai berurusan dengan kegelisahan pemisahan Anda (dan Anda yang mencakup segala egoisme) dengan mencari cara-cara simbolis mewakili dan dengan demikian mengendalikan pemisahan dari (belum lagi keinginan Anda) ibumu. Anda juga belajar untuk menunda kepuasan tubuh bila diperlukan. Dengan kata lain, ego anda menjadi terlatih untuk mengikuti realitas-prinsip dan mengendalikan prinsip kesenangan, walaupun kemampuan ini tidak akan sepenuhnya tercapai hingga Anda melewati periode latency. Dalam memecahkan Oedipus kompleks, Anda juga mulai mengidentifikasi baik dengan ibu atau ayah Anda, sehingga menentukan jalan masa depan orientasi seksual Anda. Identifikasi yang mengambil bentuk "ego-ideal," yang kemudian membantu pembentukan Anda "super-ego": sebuah internalisasi fungsi parental (yang Freud biasanya berhubungan dengan ayah) yang akhirnya terwujud dalam hati nurani Anda (dan rasa bersalah).

Usia 7-12 tahun. Berikutnya diikuti yang lama "periode latensi" di mana perkembangan seksual Anda lebih atau kurang ditangguhkan dan Anda berkonsentrasi pada menekan dan sublimating keinginan Anda yang terdahulu dan dengan demikian belajar untuk mengikuti prinsip kenyataan. Selama fase ini, Anda secara bertahap membebaskan diri Anda dari orang tua (bergerak jauh dari ibu dan mendamaikan diri dengan ayahmu) atau dengan menegaskan kemerdekaan Anda (jika Anda merespons keinginan incest Anda dengan menjadi terlalu tunduk kepada ayahmu). Anda juga bergerak di luar masa kanak-kanak Anda egoisme dan mengorbankan sesuatu ego Anda sendiri kepada orang lain, dengan demikian belajar bagaimana mencintai orang lain.

Usia 13 tahun ke depan (atau dari masa pubertas pada). Perkembangan Anda selama periode latency memungkinkan Anda untuk memasukkan alat kelamin akhir fase. Pada titik ini, Anda belajar untuk keinginan anggota lawan jenis dan untuk memenuhi naluri untuk berkembang biak dan dengan demikian menjamin kelangsungan hidup spesies manusia.

Untuk menjelaskan awal psiko-drama masa kecil Anda, Freud beralih ke pekerjaan dramatis, Sophocles 'Oedipus Rex, di mana Oedipus (yang, menurut ramalan, ditakdirkan untuk tidur dengan ibunya dan membunuh ayahnya) mencoba untuk melarikan diri dari nasib tetapi, dalam proses, tanpa disadari melakukan hal-hal yang sangat ia berusaha untuk menghindari. Oleh karena itu Freud menciptakan istilah, para Oedipus kompleks. Orang harus dicatat bahwa siapa pun bisa ditangkap di atau kurang tumbuh dari salah satu tahapan primal, mengakibatkan berbagai gejala dalam kehidupan dewasa. (Lihat fiksasi dan regresi.)

Satu hal yang "kamu" sudah pasti perhatikan adalah membungkuk maskulin yang jelas cerita Freud perkembangan seksual. Memang, Freud sering mengalami kesulitan memasukkan hasrat perempuan ke dalam teori, yang menyebabkan yang terkenal, pertanyaan yang tak terjawab: "apa yang wanita inginkan?" Sebagai negara Freud terlambat dalam hidup, "psikologi juga tidak mampu memecahkan teka-teki femininitas" ( "New Introductory Lectures" 22,116). Ini adalah alasan inilah banyak feminis mengkritik ide-ide Freud dan salah satu alasan mengapa banyak feminis tertarik dalam psikoanalisis telah berubah, bukan untuk Kristeva. (Lihat juga Jender dan Sex.) Untuk menjelaskan perempuan, Freud berpendapat bahwa gadis-gadis muda diikuti lebih atau kurang sama perkembangan psikoseksual anak laki-laki. Bahkan, dia menegaskan secara paradoks bahwa "gadis kecil itu adalah seorang laki-laki kecil" ( "New Introductory Lectures" 22,118) dan bahwa masuk ke dalam fase tahap phalik terjadi bagi gadis muda melalui "penis-setara," clitoris. Bahkan, menurut Freud, gadis muda, juga mengalami pengebirian-kompleks, dengan perbedaan bahwa kecenderungan adalah menjadi korban dari apa yang Freud istilah "penis-iri hati," keinginan untuk penis besar seperti laki-laki. Setelah tahap ini, menurut Freud, perempuan memiliki tahap perkembangan tambahan ketika "clitoris harus seluruhnya atau sebagian menyerahkan kepekaannya, dan pada saat yang sama pentingnya, ke vagina" ( "New Introductory Lectures" 22,118) . Menurut Freud, gadis muda harus juga di beberapa titik melepaskan objek-pilihan pertama (ibu dan payudara) dalam rangka untuk mengambil ayah sebagai barunya objek-pilihan yang tepat. Akhirnya dia pindah ke heteroseksual kewanitaan, yang berujung pada melahirkan, tumbuh keluar dari keinginan kekanak-kanakan sebelumnya, dengan anaknya sendiri sekarang mengambil "tempat penis sesuai dengan kesetaraan simbolis kuno" ( "New Introductory Lectures" 22,128).)))

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda